Selasa, 16 Juni 2009

DERITA KAUM BURUH DI TENGAH-TENGAH KEMEGAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pendahuluan

Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit secara ekonomis telah memberikan harapan yang besar bagi para pemilik modal. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Perluasan tanpa control, dimana : hutan, lahan pertanian, bahkan pantai-pun dieksploitasi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Di Sumut sampai saat ini tercatat luas seluruh perkebunan sekitar 967.000 ha (perkebunan kelapa sawit sekitar 600.000 ha, karet dll sekitar 367) (BPS, 2006) dengan jumlah buruh sekitar 212.740 buruh berdasarkan asumsi bahwa lahan seluas 100 ha dikerjakan oleh 22 buruh. Dengan demikian jumlah buruh di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara sekitar 132.000 buruh.

Perluasan lahan kelapa sawit dengan mobilisasi buruh sebegitu banyaknya telah mendorong peningkatan produksi CPO dari Sumut. Hal ini membawa keuntungan yang besar bagi pemilik modal dan pemerintah.

Seharusnyalah kesejahteraan buruh meningkat seiring dengan peningkatan produksi dan keuntungan perkebunan dari waktu ke waktu. Tetapi fakta-fakta menunjukkan bahwa kesejahteraan buruh justeru mengalami penurunan kualitas dimana daya beli buruh semakin menurun dibandingkan upah yang diterima setiap bulan.

Ada tiga (3) hal pokok yang perlu menjadi perhatian dalam hubungan buruh dan pengusaha perkebunan yaitu : perikatan kerja yang tidak layak, pengupahan yang tidak layak dan rentannnya kecelakaan kerja.

Bentuk Perikatan Kerja di Perkebunan

Pola perikatan kerja yang longgar di perusahaan perkebunan bersumber dari rekruitmen warisan yang telah berurat-berakar sejak jaman kolonialisme. “Koeli kontrak” demikian pola perikatan kerja tempo dulu. Waktu itu, buruh perkebunan didatangkan dari luar daerah terutama suku Jawa, secara lambat laun “waktu” membaurkan mereka dengan buruh dari lingkungan sekitar perkebunan diikat dalam “kontrak 3,5 tahun”.

Lama kelamaan mereka dipaksa “betah” tinggal di emplasmen perkebunan tidak lain merupakan enclave yang membatasi mobilitas sosial mereka. Setelah habis masa kontrak kenyataanya mereka cuma diberi “makan”, tidak ada tabungan untuk modal beralih ke pekerjaan lain, atau pulang ke kampung halaman. Cara ditempuh mempertahankan kelangsungan hidupnya (Coping Strategy) adalah menyetujui “rekruitmen” warisan melanjutkan “sistem kontrak”.

Baru di era awal orde lama ada pembaharuan mendasar mengubah status “kuli kontrak” menjadi buruh tetap atau dikenal diperkebunan istilah “Buruh SKU (Syarat Kerja Umum) lengkap dengan komponen penggajian upah pokok plus komponen kesejahteran disebut “catu 11”.

Jaman “kesejahteraan buruh” tidak berlangsung lama. Kembali awal tahun 1970 mulai ada pembatasan pengangkatan buruh SKU demi efisiensi cost produksi dan optimalisasi profit perusahaan. Tahun 1970, penggunaan BHL di perkebunan mulai marak, dengan modus operansi “penangguhan penggangkatan menjadi buruh SKU”, Catu 11 dikonversikan dengan “uang” lahirlah konsep upah minimum (UM) menjadi dasar pengupahan untuk semua sektor produksi. Lahir pulalah Hubungan Industrial Pancasila (HIP) berbasis “kuli kontrak”.

Perusahaan perkebunan mengambil keuntungan dengan minimalisasi buruh tetap hanya untuk level managemen, sementara level buruh adalah optimalisasi BHL. Semakin lengkap “penderitaan buruh” ketika di era reformasi, dimana Negara turut memberi andil menyengsarakan warganya ketika melegalkan “perbudakan modern” melalui intsrumen Undang-Undang No 13 tahun 2003.

Kini, hasil eksperimen ini membuktikan bahwa pola perikatan kerja BHL saat ini, yang dikategorikan ‘permanen”, “semi-permanen” dan “bebas” dalam perburuhan kita. Pola perikatan kerja tersebut menjadi sentral bahkan menjadi variable pengaruh (indevendent variable) bagi rentetan sistem kerja, sistem penggajian, sistem pengawasan dan pemenuhan hak-hak kesejahteraan sosial. Suatu kongklusi bahwa ternyata “perbudakan modern” dalam praktek di sublimasikan dalam pola perikatan kerja tersebut, dibungkus rapi dalam istilah terkenal “Hubungan Industrial Pancasila”.

Pengupahan yang tidak adil

Bagi buruh upah merupakan unsur fundamental. Upah satu-satunya sumber penghasilan utama memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecilnya upah sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mereka.

Tetapi realitasnya sepanjang sejarah tiada perubahan struktural sistem pengupahan perkebunan. Dasar pengupahan tetap berbasis penghisapan karena polanya hampir sama dengan jaman ordonansi kuli berdasarkan jam kerja dan target kerja ditentukan sepihak oleh perkebunan.

Pada awal kemerdekaan Indonesia memiliki sejarah pengupahan buruh yang melindungi kehidupan buruh. Antara lain : Jaminan kerja tetap dan pemberian upah kepada buruh berbasis kebutuhan pokok – dimana pengusaha diwajibkan memenuhi Catu-11 (terdiri dari : beras, minyak makan, pakaian, ikan, susu, dll) kepada buruh disamping upah nominal dengan istilah “gaji besar” dan “gaji kecil”. Buruh melalui serikat buruh juga memiliki akses yang kuat terhadap penetapan upah di perburuhan melalui Dewan Perusahaan dimana unsure buruh/serikat buruh diakomodir di dalamnya.

Sejak Orde Baru perlindungan buruh tersebut bergeser total. Pengupahan kembali berbasis penghisapan dengan “monoterisasi” sistem pengupahan dalam bentuk konversi jaminan sosial seperti fasilitas perumahan menjadi “uang kontrak” rumah. Sejak itu hilanglah perlindungan negara terhadap pengupahan buruh berbasis kebutuhan pokok. Besaran upah pun hanya untuk “tetap bertahan hidup” bahkan untuk sekedar makan setiap bulannya. “Upah kami untuk “taik” aja tak cukup”. Artinya upah riel yang mereka peroleh untuk sekedar makan sehari-hari tidaklah cukup. “Sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasih makan yang cukup oleh “tuannya” berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing”, demikian papar salah seorang buruh BHL lugas dan reflektif.

Di tengah himpitan hidup, terutama tekanan upah rendah, komunitas buruh umumnya, khususnya BHL juga “dipaksa” mengambil pilihan sulit terutama tidak tersedianya norma-norma sosial menjaga keseimbangan hidup mereka. Budaya kebun “hedonis” warisan sejarah masih kental seperti pusat-pusat hiburan komunitas kebun nyaris vulgar (keybord bongkar) sebagai satu-satunya media mengekpresikan dan mengapresiasi diri ditengah rutinitas kerja sehari-hari. Kondisi sosial memaksa mereka menjadi “korban” budaya konsumerisme massa dalam bentuk kegandrungan memiliki hiburan visual ditengah keringnya arena rekreasi, dan kreasi budaya (ketoprak, wayang ludruk).

Dari aspek kesejahteraan sosial dampak kehadiran perusahaan perkebunan juga tidak menunjukkan perbaikan. Pada hal dalam berbagai kesempatan pemerintah sering kali mengatasnamakan pengentasan pengangguran dan kemiskinan untuk memuluskan perluasan perkebunan dengan cara mengundang investasi asing.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa kehidupan buruh, terutama Buruh Harian Lepas dan komunitas perkebunan juga memburuk. Mereka tinggal di emplasmen perkebunan dengan pondokan dan lingkungan nyaris kumuh, air minum yang tidak layak bagi kesehatan serta tidak dilengkapi sanitasi, irigasi yang baik serta rata-rata tidak mempunyai MCK. Akses mendapatkan pelayanan kesehatan dilingkungan pekerjaan mereka dan pelayanan kesehatan dari pemerintah juga tidak memadai. Akses pendidikan bagi mereka dan anak-anak mereka juga cukup mahal jika dibandingkan dengan besar upah mereka sebagai buruh.

Tingginya tekanan upah yang rendah memaksa mereka bekerja melebihi kemampuan rasional kerja manusia dengan merangkap berbagai pekerjaan sampingan hanya untuk mempertahankan kehidupan “sekedar makan” adalah suatu pandangan yang ironi ditengah luasnya perkebunan sawit, kualitas rendeman minyak dan ditengah tumpukan “dollar” yang dihasilkan dari keringat mereka. Itulah realitas perkebunan kita yang tidak berdampak bagi kesejahteraan buruh dan kesejahteraan komunitas masyarakat sekitar.

Karakteristik Kecelakaan Kerja di Perkebunan

Isu Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya disingkat K-3) merupakan masalah penting dalam dunia perburuhan. Selain sebagai hak dasar buruh, K-3 penting karena pihak yang berkaitan dengan masalah tersebut harus berusaha untuk mengurangi kemungkinan resiko dan bahaya dalam bekerja (aspek preventif), memungkinkan tercapainya pengobatan (aspek kuratif) dan pemulihan kesehatan (aspek rehabilitatif) bagi buruh khususnya mereka yang mengalami kecelakaan kerja.

Hal ini tercapai bila prinsip-prinsip berhubungan dengan hak dan kewajiban pemerintah, pengusaha dan pihak buruh diterapkan secara baik. Secara normatif, hal tersebut menyangkut aspek regulasi dan pengawasan mempunyai kerangka yang terperinci dalam perundang-undangan.

Kebijakan relasi hubungan majikan-buruh yang jelas dalam bentuk peraturan-peraturan dan tugas-tugas operasional yang terdefenisikan serta otoritas dan kompetensi kelembagaan pengawas yang bertujuan mendukung upaya-upaya pengusaha dan pekerja memperbaiki tingkat K-3.

Managemen perusahaan perkebunan yang berusaha keras mematuhi semua hukum, peraturan dan kode etik yang relevan dengan K-3, mensosialisasikan, mengidentifikasi potensi bahaya dan pengaruhnya terhadap K-3 memastikan bahwa mereka berusaha mengurangi bahaya (resiko kerja), yang terimplementasikan dalam kebijakan penanggulangan K-3 yang tersistematisir dalam managemen perusahaan.

Buruh yang bekerjasama erat dengan pengusaha dan otoritas pengawas regulasi mempromosikan keselamatan kerja. Para buruh/ pekerja melalui wakil mereka mempunyai hak dan tugas berperan serta dalam semua hal yang terkait dengan K-3. Hal tersebut mencakup hak untuk memperoleh informasi yang tepat dan menyeluruh dari pengusaha tentang : resiko, memperhatikan tindakan dan kelalaian mereka di tempat kerja, memelihara alat kerja dan pelindung kerja, melaporkan bila buruh percaya bahwa pelindung K-3 yang disediakan perusahaan tidak sesuai atau tidak cukup atau percaya bahwa pengusaha gagal memenuhi ketentuan hukum, aturan dan prosedur kode praktek K-3 dan membawa masalah ke tingkat pengawas ketenagakerjaan atau badan lain yang berkompeten. Serta pekerja mempunyai hak untuk pemeriksaan kesehatan tanpa dipungut biaya dan penanggulangan apabila oleh kondisi tertentu dalam kerja menyebabkan gangguan kesehatan dan atau kecelakaan kerja.

Data dilapangan menunjukkan masalah K-3 sebagai isu perburuhan masih relevan dipersoalkan. Temuan di 5 perusahaan perkebunan sawit dan Karet di Sumatera Utara antara lain : PT Lonsum Turangi Estate, Sofindo Mata Pao, PTPN II Langkat dan PT BSP dan PT Anglo Eastern Plantation di Asahan menunjukkan bahwa dari 47 kasus kecelakaan, 32 korban (68,08%) dikategorikan sebagai kecelakaan ringan, 11 korban (23,40%) cacat total akibat kena tatal (getah), tertimpa buah sawit, ketimpa kotoran getah karet dan kotoran berondolan ke dalam mata menyebabkan kebutaan dan 2 korban (4,25%) meninggal dunia karena sengatan listrik di area perbatasan kebun dan tertimpa tandan buah segar (KPS, 2008).

Hal ini berarti bahwa sistem K-3 belum berjalan dengan baik. Pihak yang mempunyai otoritas atas aspek regulasi dan pengawasan belum menegakkan pengawasan dan sanksi tegas terhadap pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan, code etik yang berkaitan dengan K-3. Pada hal amanat UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sudah mengatur syarat-syarat pelaksanaan K-3 berikut sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakanya.

Demikian juga pihak pengusaha belum melihat K3 sebagai budaya kerja beradap. Sikap sebagian perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru tentang program K-3 yakni semata-mata di lihat dalam perspektif biaya yang membebani perusahaan.

Pada hal mengeluarkan biaya untuk sosialisasi dan pembelian alat-alat kerja, pelindung kerja, pelatihan-pelatihan kerja meningkatkan keterampilan kerja dapat menekan angka kecelakaan kerja yang berakibat pada berkurangnya biaya untuk penanggulangan kecelakaan kerja.

Bentuk Kecelakaan kerja Perkebunan

Bentuk kecelakaan kerja di perkebunan, khususnya perkebunan sawit dan karet adalah tertimpa pelepah dan buah, mata terkena kotoran dan tatal (getah) bagi buruh bagian panen dan pembersihan lahan. Terkena tetesan gromoxone, roun-dup dan terhirup racun pestisida, fungisida dan insektisida terutama pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan.

Bentuk kecelakaan kerja tersebut berdampak pada resiko cacad anggota tubuh seperti mata buta bagi pemanen buah sawit dan penderes karet, cacad kelahiran terutama bagi wanita penyemprot, bahkan menumui ajal ketika tertimpa tandan buah sawit (TBS).

Umumnya penyebab kecelakaan kerja karena tempat kerja yang tidak aman seperti lokasi yang tidak rata menyulitkan memanen, lokasi kerja bersemak tempat bersemainya binatang berbisa, jalan licin dan berlobang berpotensi buruh terpeleset sewaktu proses kerja, serta budaya kerja kurang beradap seperti alat pelindung kerja tidak cukup atau tidak memenuhi standart keselamatan kerja dan perilaku tidak mengindahkan kerja yang benar terutama akibat minimnya sosialisasi dan pelatihan kerja bagi buruh perkebunan.

Dengan demikian di sektor perkebunan, potensi kecelakaan kerja cukup tinggi. Sayangnya masih kerap terjadi di lingkungan perkebunan yang tidak mengidentifikasi potensi resiko, penyebaran informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko dan penanggulangan kecelakaan terutama penyediaan P3K dan pondok berlindung ketika cuaca buruk serta “pembiaran” buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan perlengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Tidak ada antisipasi pencegahan keracunan dan perlindungan kesehatan buruh.

Untuk mencegah kecelakaan kerja seharusnya pihak perkebunan memberikan pendidikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan buruh kepada dokter ahli, dan merotasi buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia yang berbahaya.

Hal ini mengakibatkan banyak buruh kebun belum mengerti K-3 termasuk hak dan kewajiban perusahaan perkebunan, pemerintah baik dalam bentuk pengetahuan dan kaitannya dengan operasi kerja mereka. Pada hal K-3 berfungsi untuk melindungi dan menjaga diri buruh tersebut agar terhindar dari kecelakaan kerja yang merugikan mereka. Pemberiaan alat kerja dan pelindung kerja yang tidak cukup dan tidak memenuhi standart keselamatan kerja. Sebagai contoh, kaca mata yang diberikan perusahaan tidak menutup keseluruhan permukaan mata, dan kalau digunakan mudah terkena embun menyebabkan penglihatan kabur.

Akibatnya rata-rata buruh tidak menggunakan karena mengganggu proses kerja sementara target-target yang tinggi juga menjadi salah satu pertimbangan buruh untuk menggunakannya. Sementara upah rendah yang diterima buruh seringkali menjadi kendala menyebabkan mereka bekerja tidak memperdulikan aspek keselamatan kerja. Banyak buruh perkebunan bekerja tanpa memiliki alat kerja dan pelindung kerja yang memadai.

Dari sisi ekonomi, buruh tidak mampu menyediakan alat dan pelindung kerja karena upah rendah, membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimum setiap hari. Oleh karena itu, buruh kebun akan bekerja sebanyak mungkin dengan melibatkan seluruh anggota keluarga hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan makan dengan kualitas yang memprihatinkan, sementara beban kerja memerlukan energi yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas makanan yang dikonsumsi setiap hari. Itulah realitas kecelakaan kerja yang tinggi di perkebunan di tengah tumpukan dollar yang dihasilkan oleh buruh kita.

Penutup

Dari paparan di atas tampak bahwa bagaimana dinamika pergerakan modal (liberalisasi) mengkontruksi relasi kerja, dan peran Negara diminimalisir yang berakibat pada keterpurukan nasib buruh. Menguatnya praktek fleksibilitas hubungan kerja telah menempatkan posisi buruh pada posisi tawar yang sangat rendah. Ruang kebebasan berserikat-pun semakin sempit. Praktek outsourcing dan buruh harian lepas memaksa buruh menerima apa adanya kemauan perusahaan. Peraturan perundang-undang yang mengatur hak-hak buruh menjadi lips service semata karena peran perlindungan pemerintah yang hilang. Posisi hokum perburuhan telag bergeser dari ranah public ke ranah perdata pasca UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 2 tahun 2004.

Dengan demikian maka solusi ke depan adalah mengembalikan kebijakan perburuhan berbasis kesejahteraan sebagaimana amanat UUD, 45 “jaminan pekerjaan”, “hidup layak” dan “kebebasan berorganisasi”. Dan mendorong pemerintah mengkaji ulang peraturan perburuhan, pengawasan terhadap perusahaan perkebunan dan peran perusahaan mengimplementasikan tanggung jawab socialnya.

by : Gina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar